+BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Pembangunan
desa memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dan hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional.
Hal tersebut terlihat melalui banyaknya program pembangunan yang di rancang
pemerintah untuk pembangunan desa. Hampir seluruh instansi, terutama pemerintah
daerah mengakomodir pembangunan desa dalam program kerjanya. Tentunya
berlandaskan pemahaman bahwa desa sebagai kesatuan geografis terdepan yang
merupkan tempat sebagian besar penduduk bermukim. Dalam struktur pemerintahan,
desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan dan langsung berada
di tengah masyarakat. Karenanya dapat di pastikan apapun bentuk setiap program
pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara kedesa.
Meskipun
demikian, pembangunan desa masih memiliki berbagai permasalahan, seperti adanya
desa terpencil atau terisolir (centre of
excellent), masih minimnya prasarana sosial ekonomi serta penyebaran jumlah
tenaga kerja produktif yang tidak seimbang, termasuk tingkat produktifitas,
tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat pendidikan yang relatif masih
rendah.semuanya itu pada akhirnya berkontribusi pada kemiskinan penduduk.
Faktor
tersebut menyebabkan pemerintah semakin intensif menggulirkan progran dan
proyek pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Namun demikian program
atau proyek yang diarahkan dalam pembangunan desa justru tidak dapat berjalam
optimal, karena kebanyakan di rencanakan jauh dari desa (Korten, 1988:247).
Masyarakat masih dianggap sebagai obyek/sasaran yang akan di bangun. Hubungan
yang terbangun adalah pemerintah sebagai subyek /pelaku pembangunan dan
masyarakat desa sebagai obyek/sasaran pembangunan (Kartasasmita, 1996:144).
Partisipasi yang ada masih sebatas pemanfaatan hasil. Tingkat partisipasi dalam
pembangunan masih terbatas, misalnya masih sebatas peran serta secara fisik
tampa berperan secara luas sejak dari perencanaan sampai evalusasi.
Kondisi
tersebut mengakibatkan peranan pemerintah semakin besar. Pemerintah berperan
dominan sejak dari perencanaan hingga pelaksnaan program atau proyek
pembangunan. Fakta ini berangkat dari perspektif stakeholders perintah bahwa berhasilnya program atau proyek
pembangunan diukur dari penyelesain yang tepat pada waktunya (efesiensi dan
efektifitas) serta sesuai dengan rencana
yang di tetapkan. Dengan orientasi seperti ini, tentunya masyarakat desa
beserta stakeholder lainya didesa
yang seharusnya memiliki peranan yang
besar tidak dapat mengembangkan kemampuanya dan menjadi “terbelenggu” dalam
berinovasi. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari iplementasi program
bantuan desa (Bangdes) selama ini, justru peranan birokrat pemerintah yang amat
menonjol.
Walaupun
sesungguhnya program tersebut sudah lama dilaksanakan dan cukup luas di desa,
namun masyarakat selalu dianggap kurang mampu, sehingga bimbingan dan arahan
dari pemerintah begitu kuat pengaruhnya dan merasuk (internalisasi) dalam
masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tergantung pada bimbingan dan arahan dari
pemerintah. Bila kondisi tersebut tetap dipertahankan, maka masyarakat tidak
akan pernah dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengelola pembangunan di
desanya.
Apapun bentuk pembangunan, secara
substantif akan selalu diartikan mengandung unsur proses dan adanya suatu
perubahan yang direncanakan untuk mencapai kemajuan masyarakat. Karena
ditujukan untuk merubah masyarakat itulah maka sewajarnya masyarakatlah sebagai
pemilik (owner) kegiatan pembangunan. Hal ini dimaksudkan supaya perubahan yang
hendak dituju adalah perubahan yang diketahui dan sebenarnya yang dikehendaki
oleh masyarakat (Conyers, 1991:154-155). Ada kesiapan masyarakat untuk
menghadapi dan menerima perubahan itu.Untuk itu keterlibatannya harus diperluas
sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga pemanfaatannya, sehingga proses
pembangunan yang dijalankan dapat memberdayakan masyarakat, bukan
memperdayakan.
Pembangunan desa secara konseptual
mengandung makna proses dimana usaha-usaha dari masyarakat desa terpadu dengan
usaha-usaha dari pemerintah. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat. Sehingga dalam konteks pembangunan desa, paling
tidak terdapat dua stakeholder yang berperan utama dan sejajar (equal) yaitu
pemerintah dan masyarakat (Korten, 1988:378). Meskipun
demikian, dalam konteks yang lebih luas, juga terdapat peranan “Agen Eksternal”
seperti LSM, Konsultan, Lembaga Donor dll.
Domain pembangunan desa juga tidak
terlepas dari wacana tentang model perencanaan pembangunan yaitu dari atas ke
bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas (bottom up planning). Pada dasarnya setiap
program dari pemerintah senantiasa mencerminkan kombinasi kedua model tersebut,
hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru tentang
pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), maka
pendekatan bottom up planning sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari
proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah
Pembangunan
yang memberdayakan masyarakat adalah pembangunan yang memberi “ruang” dan
kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam menggerakkan dan mengerahkan
segala sumber daya (resources) yang dimilikinya, baik sumber daya material
maupun non material, terutama sumber daya manusianya sendiri untuk mandiri
(Uphoff dalam Cernea, 1988:501). Dengan kata lain masyarakat mempunyai akses
dalam pengambilan keputusan sampai pelaksanaan pembangunan.
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat
memiliki makna lebih luas dari model pembangunan partisipatif, sebagaimana
dinyatakan Soetrisno (dalam Lasito, 2002:7), sebagai berikut : Dalam model
pemberdayaan, masyarakat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses
pemilikan program, perencanaan dan pelaksanaannya, akan tetapi mereka juga
menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara dalam model partisipasi,
keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada pemilikan,
perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan pemerintah tetap menguasai dana guna
mendukung pelaksanaan program itu. Dari pembedaan tersebut dapat diartikan
bahwa dalam model pemberdayaan, masyarakatlah yang memiliki peran yang besar
(termasuk pendanaan) serta sangat menentukan bagi arah kegiatan pembangunan,
sesuai dengan aspirasi dan perspektif masyarakat, maksudnya tanpa terlalu
intervensi struktur pemerintahan yang cenderung birokratis.
1.3
Manfaat Penulisan
Ø Bertitik
tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penulisan ini adalah
menganalisis mengenai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dalam pemerintahan
daerah.
1.4
Tujuan Penulisan
Ø Secara
teoritis, hasil penulisan ini diharapkan
bermanfaat menguatkan kajian teoritis tentang pemberdayaan masyarakat dan desa
Ø Secara
praktis, hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada
Pemerintah
BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEMOKRASI
Indonesia dalam mewujudkan masyarakat
yang demokratis dalam penyelenggaraan pemerintah, berdasarkan sistem
desentralisasi. Hal ini disebabkan karena dalam negara yang menganut faham
demokratis, seharusnya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
rakyatnya untuk ikut serta dalam pemerintahan. Semboyan demokrasi adalah
pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Government of the people,
by the people and for the people). Kalau semboyan ini hendak direalisasikan,
maka tidaklah cukup hanya\dengan melaksanakannya pada tingkat nasional atau
pusat saja, tetapi juga pada tingkat daerah.
Sesuai keinginan bangsa Indonesia yang
ingin mengadakan tertib hukum dan menciptakan kepastian hukum bagi jalannya
kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia, serta mensukseskan pembangunan
di segala bidang di seluruh Indonesia, guna mencapai cita-cita nasional
berdasarkan Pancasila, yaitu masyarakat yang adil dan makmur, baik materiil
maupun spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia, maka perlu memperkuat
pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya
dalam pembangunan administrasi desa yang makin meluas dan efektif.
|
B. OTONOMI
DAERAH
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan
mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi
dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai perwujudan demokrasi, dalam
penyelenggaraan pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau
sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan,
yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa, dengan demikian, Badan Permusyawaratan
Desa sebagai lembaga Permusyawaratan warga masyarakat di desa mempunyai peran
yang sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja
Pemerintahan Desa diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang
mengawasi jalannya Pemerintahan Desa. Oleh karena itu, pengaturan tentang
Pemerintahan Desa dituangkan dalam peraturan daerah sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proposional yang
diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang
berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Disamping itu penyelenggaraan
Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa prinsip
otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara
nyata ada dan diperlukan. Sedangkan yang dimaksud otonomi yang bertanggung
jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian
hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus
dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan
demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Khusus tentang Pemerintahan Desa,
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan pandangan-pandangan baru yang
intinya juga untuk meningkatkan dan memberdayakan kemandirian Desa. Seperti
halnya Pemerintah Daerah adalah Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah dan Bupati
beserta jajarannya, maka untuk Desa yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa
adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
Sebagai perwujudan demokrasi di Desa,
maka dibentuklah Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai
dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan. Dalam Pasal 204
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: Badan Permusyawaratan Desa
atau disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, serta
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Fungsi
pengawasan Badan Permusyawaratan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.
|
C. Desa
Dan Badan Permusyarawatan Desa
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan Kecamatan, karena
Kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah Kabupaten/Kota, dan Desa bukan
merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki
hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah Desa
dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan
Desa adalah:
1. Menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa.
2. Menyelenggarakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya
kepada Desa, yaknimurusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan
masyarakat.
3. Tugas
pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
4. Urusan
pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada Desa
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, kewenangan desa dirumuskan sebagai urusan atau
kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal usulnya, kewenangan yang dilimpahkan
(desentralisasi) dan tugas pembantuan. “Ketiga jenis Kewenangan ini menurut Tumpal
Saragi kurang jelas apa maksudnya dan bagaimana melakukannya”.²
|
Menawarkan paradigma baru dalam
menghidupkan kembali demokrasi di Desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di
bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 2005, yang pada Pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32/2004 memberikan pengertian Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa
dan Perangkat Desa.
Banyak hal dalam tuntutan kepala desa
yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang
sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan
untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa
jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin
akan terjadi benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Otonomi yang
sesungguhnya bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang
karena otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di
desa saja harus ada izin dari Kabupaten. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa
Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi
yang ada di daerah masing-masing. Otonomi Daerah itu sendiri merupakan
pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri,
tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.³
|
Berdasarkan Pasal 209 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah. Badan Permusyawaratan Desa
berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat serta di dalamnya juga mempunyai fungsi dalam
penetapan APBDes. Dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa, BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa.
Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyebutkan bahwa BPD berfungsi
menetapkan peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat.
Kewenangan BPD berdasarkan Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah:
a. membahas
rancangan peraturan Desa bersama kepala Desa;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan Desa dan peraturan kepala Desa;
c. mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala Desa;
d. membentuk panitia pemilihan kepala Desa;
e. menggali,
menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat: dan
f. menyusun
tata tertib BPD.
Hak BPD seperti yang tercantum dalam
Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah meminta keterangan
kepada Pemerintah Desa dan menyatakan pendapat. Sedangkan anggota BPD
berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah:
a. mengajukan
rancangan peraturan Desa dan APBDes:
b. mengajukan
pertanyaan:
c. menyampaikan
usul dan pendapat:
d. memilih dan dipilih: dan
e. memperoleh
tunjangan.
f.
Anggota
BPD mempunyai kewajiban:
a. mengamalkan
Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan:
b. melaksanakan
kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa:
c. mempertahankan dan memelihara hukum nasional
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia:
d. menyerap,
menampung, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat:
e. memproses
pemilihan kepala Desa: mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi, kelompok dan golongan:
f. menghormati
nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat: dan
g. menjaga
norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.
Tugas Badan Permusyawaratan Desa
diharapkan lebih bisa mengakomodasikan kepentingan masyarakat desa. Kemungkinan
besar segala tugas utamanya dapat dilaksanakan dengan baik mengingat
keanggotaannva dipilih dari dan oleh masyarakat dan pimpinannya dipilih oleh
anggotanya.
|
Selama ini kehadiran Lembaga Musyawarah
Desa belum dirasa aspirasi masyarakat
desa. Bagaimana bisa seorang Kepala Desa dikontrol oleh Lembaga Musyawarah Desa
yang diketuainya sendiri. Di samping itu, tugas Lembaga Musyawarah Desa tidak
menyangkut segi musyawarah terhadap Keputusan Desa saja. Hal inilah yang
mungkin menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang daripada
Kepala Desa yang merupakan pimpinan dari Lembaga Musyawarah Desa.
|