Jumat, 21 Juni 2013

MAKALAH PEMDA



+BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar Belakang Masalah
Pembangunan desa memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya program pembangunan yang di rancang pemerintah untuk pembangunan desa. Hampir seluruh instansi, terutama pemerintah daerah mengakomodir pembangunan desa dalam program kerjanya. Tentunya berlandaskan pemahaman bahwa desa sebagai kesatuan geografis terdepan yang merupkan tempat sebagian besar penduduk bermukim. Dalam struktur pemerintahan, desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan dan langsung berada di tengah masyarakat. Karenanya dapat di pastikan apapun bentuk setiap program pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara kedesa.
Meskipun demikian, pembangunan desa masih memiliki berbagai permasalahan, seperti adanya desa terpencil atau terisolir (centre of excellent), masih minimnya prasarana sosial ekonomi serta penyebaran jumlah tenaga kerja produktif yang tidak seimbang, termasuk tingkat produktifitas, tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah.semuanya itu pada akhirnya berkontribusi pada kemiskinan penduduk.
Faktor tersebut menyebabkan pemerintah semakin intensif menggulirkan progran dan proyek pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Namun demikian program atau proyek yang diarahkan dalam pembangunan desa justru tidak dapat berjalam optimal, karena kebanyakan di rencanakan jauh dari desa (Korten, 1988:247). Masyarakat masih dianggap sebagai obyek/sasaran yang akan di bangun. Hubungan yang terbangun adalah pemerintah sebagai subyek /pelaku pembangunan dan masyarakat desa sebagai obyek/sasaran pembangunan (Kartasasmita, 1996:144). Partisipasi yang ada masih sebatas pemanfaatan hasil. Tingkat partisipasi dalam pembangunan masih terbatas, misalnya masih sebatas peran serta secara fisik tampa berperan secara luas sejak dari perencanaan sampai evalusasi.
Kondisi tersebut mengakibatkan peranan pemerintah semakin besar. Pemerintah berperan dominan sejak dari perencanaan hingga pelaksnaan program atau proyek pembangunan. Fakta ini berangkat dari perspektif stakeholders perintah bahwa berhasilnya program atau proyek pembangunan diukur dari penyelesain yang tepat pada waktunya (efesiensi dan efektifitas)  serta sesuai dengan rencana yang di tetapkan. Dengan orientasi seperti ini, tentunya masyarakat desa beserta stakeholder lainya didesa yang seharusnya  memiliki peranan yang besar tidak dapat mengembangkan kemampuanya dan menjadi “terbelenggu” dalam berinovasi. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari iplementasi program bantuan desa (Bangdes) selama ini, justru peranan birokrat pemerintah yang amat menonjol.
Walaupun sesungguhnya program tersebut sudah lama dilaksanakan dan cukup luas di desa, namun masyarakat selalu dianggap kurang mampu, sehingga bimbingan dan arahan dari pemerintah begitu kuat pengaruhnya dan merasuk (internalisasi) dalam masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tergantung pada bimbingan dan arahan dari pemerintah. Bila kondisi tersebut tetap dipertahankan, maka masyarakat tidak akan pernah dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengelola pembangunan di desanya.
Apapun bentuk pembangunan, secara substantif akan selalu diartikan mengandung unsur proses dan adanya suatu perubahan yang direncanakan untuk mencapai kemajuan masyarakat. Karena ditujukan untuk merubah masyarakat itulah maka sewajarnya masyarakatlah sebagai pemilik (owner) kegiatan pembangunan. Hal ini dimaksudkan supaya perubahan yang hendak dituju adalah perubahan yang diketahui dan sebenarnya yang dikehendaki oleh masyarakat (Conyers, 1991:154-155). Ada kesiapan masyarakat untuk menghadapi dan menerima perubahan itu.Untuk itu keterlibatannya harus diperluas sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga pemanfaatannya, sehingga proses pembangunan yang dijalankan dapat memberdayakan masyarakat, bukan memperdayakan.
Pembangunan desa secara konseptual mengandung makna proses dimana usaha-usaha dari masyarakat desa terpadu dengan usaha-usaha dari pemerintah. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sehingga dalam konteks pembangunan desa, paling tidak terdapat dua stakeholder yang berperan utama dan sejajar (equal) yaitu pemerintah dan masyarakat (Korten, 1988:378). Meskipun demikian, dalam konteks yang lebih luas, juga terdapat peranan “Agen Eksternal” seperti LSM, Konsultan, Lembaga Donor dll.
Domain pembangunan desa juga tidak terlepas dari wacana tentang model perencanaan pembangunan yaitu dari atas ke bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas  (bottom up planning). Pada dasarnya setiap program dari pemerintah senantiasa mencerminkan kombinasi kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru tentang pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), maka pendekatan bottom up planning sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat.
1.2            Rumusan Masalah
Pembangunan yang memberdayakan masyarakat adalah pembangunan yang memberi “ruang” dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam menggerakkan dan mengerahkan segala sumber daya (resources) yang dimilikinya, baik sumber daya material maupun non material, terutama sumber daya manusianya sendiri untuk mandiri (Uphoff dalam Cernea, 1988:501). Dengan kata lain masyarakat mempunyai akses dalam pengambilan keputusan sampai pelaksanaan pembangunan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat memiliki makna lebih luas dari model pembangunan partisipatif, sebagaimana dinyatakan Soetrisno (dalam Lasito, 2002:7), sebagai berikut : Dalam model pemberdayaan, masyarakat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses pemilikan program, perencanaan dan pelaksanaannya, akan tetapi mereka juga menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara dalam model partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada pemilikan, perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan pemerintah tetap menguasai dana guna mendukung pelaksanaan program itu. Dari pembedaan tersebut dapat diartikan bahwa dalam model pemberdayaan, masyarakatlah yang memiliki peran yang besar (termasuk pendanaan) serta sangat menentukan bagi arah kegiatan pembangunan, sesuai dengan aspirasi dan perspektif masyarakat, maksudnya tanpa terlalu intervensi struktur pemerintahan yang cenderung birokratis.







1.3            Manfaat Penulisan
Ø  Bertitik tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penulisan ini adalah menganalisis mengenai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dalam pemerintahan daerah.
1.4            Tujuan Penulisan
Ø  Secara teoritis, hasil penulisan  ini diharapkan bermanfaat menguatkan kajian teoritis tentang pemberdayaan masyarakat dan desa
Ø  Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada Pemerintah


























BAB II
LANDASAN TEORI
A.    DEMOKRASI
Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis dalam penyelenggaraan pemerintah, berdasarkan sistem desentralisasi. Hal ini disebabkan karena dalam negara yang menganut faham demokratis, seharusnya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyatnya untuk ikut serta dalam pemerintahan. Semboyan demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Government of the people, by the people and for the people). Kalau semboyan ini hendak direalisasikan, maka tidaklah cukup hanya\dengan melaksanakannya pada tingkat nasional atau pusat saja, tetapi juga pada tingkat daerah.
Sesuai keinginan bangsa Indonesia yang ingin mengadakan tertib hukum dan menciptakan kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia, serta mensukseskan pembangunan di segala bidang di seluruh Indonesia, guna mencapai cita-cita nasional berdasarkan Pancasila, yaitu masyarakat yang adil dan makmur, baik materiil maupun spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia, maka perlu memperkuat pemerintahan desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan administrasi desa yang makin meluas dan efektif.
³ Sadono Sukirno. Berapa aspek dalam persoalan pembangunan daerah, Lembaga Penerbit FE.UI, Jakarta , 1976, hal. 6-8
 
Pembangunan yang tepat membutuhkan analisa yang tepat. Untuk para ekonomi regional atau geografi regional menggunakan dua aspek dasar dari kriterianya, yaitu metodenya dan faktor-faktor yang menentukan perkembangan regional. Masing-masing dapat di bagi lagi dua jenis. Pertama, yang di pinjam dari taraf nasional: keduanya, yang di susun khusus untuk kepentingan daerah. Adapun yang mengenai faktor-faktor daerah, perinciannya: lingkungan alam dalam arti ruang dan sumber daya alam serta pemanfaatanya, penduduk dalam arti kepadatanya  serta migrasinya, peranan kota-kota besar atas daerah, dan campur tangan pemerintah.³         



B.     OTONOMI DAERAH
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa, dengan demikian, Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga Permusyawaratan warga masyarakat di desa mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja Pemerintahan Desa diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mengawasi jalannya Pemerintahan Desa. Oleh karena itu, pengaturan tentang Pemerintahan Desa dituangkan dalam peraturan daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan. Sedangkan yang dimaksud otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Khusus tentang Pemerintahan Desa, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan pandangan-pandangan baru yang intinya juga untuk meningkatkan dan memberdayakan kemandirian Desa. Seperti halnya Pemerintah Daerah adalah Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah dan Bupati beserta jajarannya, maka untuk Desa yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
Sebagai perwujudan demokrasi di Desa, maka dibentuklah Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan. Dalam Pasal 204 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: Badan Permusyawaratan Desa atau disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Fungsi pengawasan Badan Permusyawaratan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.
 ¹Djoko Prakoso, Kedudukan dan Fungsi Kepala Daerah Beserta Perangkat Daerah Di Dalam Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, hlm. 143- 144.
 
Menurut Djoko Prakoso: Dalam Setiap organisasi, fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan itu adalah suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan oleh Pemerintah dan untuk mejamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdayaguna dan berhasil guna.¹



C.     Desa Dan Badan Permusyarawatan Desa
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan Kecamatan, karena Kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah Kabupaten/Kota, dan Desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah Desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan Desa adalah:
1.      Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa.
2.      Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa, yaknimurusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
3.      Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
4.      Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada Desa
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan desa dirumuskan sebagai urusan atau kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal usulnya, kewenangan yang dilimpahkan (desentralisasi) dan tugas pembantuan. “Ketiga jenis Kewenangan ini menurut Tumpal Saragi kurang jelas apa maksudnya dan bagaimana melakukannya”.²
²Tumpal Saragi Kewenangan Desa, Solusi, Edisi II, Januari 2004.
 
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan Desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa dan perangkat Desa serta BPD adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang, lagi untuk satu kali masa jabatan. Kepala Desa bersama perangkat Desa juga memiliki wewenang menetapkan APBDes yang telah mendapat persetujuan dari BPD.
Menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di Desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang pada Pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32/2004 memberikan pengertian Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Otonomi yang sesungguhnya bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari Kabupaten. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi Daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.³
³Persada Girsang, Kewenangan Desa Antara Mimpi dan Kenyataan, Persada. Tangerang. 2007, hlm. 27
 
Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Peraturan Desa), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada, sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.
Berdasarkan Pasal 209 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta di dalamnya juga mempunyai fungsi dalam penetapan APBDes. Dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa. Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyebutkan bahwa BPD berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Kewenangan BPD berdasarkan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah:
a.       membahas rancangan peraturan Desa bersama kepala Desa;
b.       melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan Desa dan peraturan kepala Desa;
c.       mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala Desa;
d.       membentuk panitia pemilihan kepala Desa;
e.       menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat: dan
f.       menyusun tata tertib BPD.
Hak BPD seperti yang tercantum dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah meminta keterangan kepada Pemerintah Desa dan menyatakan pendapat. Sedangkan anggota BPD berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah:
a.       mengajukan rancangan peraturan Desa dan APBDes:
b.      mengajukan pertanyaan:
c.       menyampaikan usul dan pendapat:
d.       memilih dan dipilih: dan
e.       memperoleh tunjangan.
f.        


Anggota BPD mempunyai kewajiban:
a.       mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan:
b.      melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa:
c.        mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia:
d.      menyerap, menampung, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat:
e.       memproses pemilihan kepala Desa: mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan:
f.       menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat: dan
g.      menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.
Tugas Badan Permusyawaratan Desa diharapkan lebih bisa mengakomodasikan kepentingan masyarakat desa. Kemungkinan besar segala tugas utamanya dapat dilaksanakan dengan baik mengingat keanggotaannva dipilih dari dan oleh masyarakat dan pimpinannya dipilih oleh anggotanya.
4
 
Dikemukakan oleh Joeniarto bahwa: Fungsi yang penting daripada Badan Permusyawaratan harus disadari benar-benar oleh setiap anggota daripada Badan Permusyawaratan tersebut, selaku wakil-wakil dari pada rakyat. Kesadaran bahwa setiap keputusan daripada Badan Permusyawaratan ini akan membawa akibat langsung atau tidak terhadap keuntungan atau kerugian bagi rakyatnya. Oleh karena itu, masalah pemilihan Wakil-wakil Rakyat di dalam negara demokrasi benar-benar merupakan masalah yang prinsipil, rakyat harus berhati-hati memilihnya.
Selama ini kehadiran Lembaga Musyawarah Desa belum dirasa aspirasi  masyarakat desa. Bagaimana bisa seorang Kepala Desa dikontrol oleh Lembaga Musyawarah Desa yang diketuainya sendiri. Di samping itu, tugas Lembaga Musyawarah Desa tidak menyangkut segi musyawarah terhadap Keputusan Desa saja. Hal inilah yang mungkin menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang daripada Kepala Desa yang merupakan pimpinan dari Lembaga Musyawarah Desa.



 Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Cipta. Jakarta. 1990. hlm 24-25.